Jumat, 08 Februari 2008

PROGRAM KERJA JANGKAR PILKADA

I. PELATIHAN & PEMBEKALAN PEMANTAU

Latar Belakang

Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama untuk Kabupaten Tangerang akan menjadi barometer yang menentukan kualitas demokrasi di Kota Sejuta Industri ini. Sehingga, tuntutan terhadap kualitas pelaksanaan pilkada pun sangat tinggi. Kekhawatiran bakal terjadinya kecurangan, mulai dari pendaftaran hingga penghitungan suara, membuat sejumlah lembaga mulai melakukan pengawasan.

JANGKAR PILKADA akan mengerahkan sekitar 1800 relawan untuk melakukan pemantauan, mulai dari proses kampanye sampai hari pencoblosan, sekaligus melakukan quick count atau penghitungan cepat. Disamping melakukan pemantauan dan quick qount, JANGKAR PILKADA juga akan melakukan exit poll, Survey Pemilih, dan post election survey untuk mengetahui alasan dibelakang perilaku tidak memilih.

Karena tugasnya yang lebih dari sekedar memantau pencoblosan saja, relawan JANGKAR PILKADA dituntut memiliki disiplin dan profesionalisme yang tinggi agar hasil pantauan dan referensinya dapat diterima oleh semua kalangan. Oleh sebab itu, memberikan Pelatihan dan Pembekalan kepada relawan pemantau menjadi hal penting yang harus dilakukan sebelum mereka diterjunkan ke lapangan.

Tujuan

  1. Mencetak Relawan-relawan pemantau yang bersifat independen, bebas, non partisan, dan tidak berafiliasi kepada peserta Pilkada;
  2. Membekali Pemantau agar memahami mekanisme pengamatan dan pengumpulan informasi jalannya proses penyelenggaraan pilkada dari tahap awal sampai akhir;
  3. Memberikan bekal pemahaman yang cukup agar para relawan dapat melaksanakan peranannya sebagai pemantau secara tidak berpihak dan objektif;
  4. Memberikan dasar-dasar pengetahuan dan mekanisme pemantauan guna memastikan bahwa informasi dikumpulkan, disusun dan dilaporkan kepada KPU dan masyarakat secara akurat, sistematik dan dapat diverifikasi;

II. PENDIDIKAN & PENYADARAN DEMOKRASI

Latar Belakang

Kendati Pilkada langsung tergolong hal baru bagi Kabupaten Tangerang, namun ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan berbagai kemungkinan yang dapat mencederai demokrasi. Justru pengalaman ini harus menjadi preseden yang baik agar dapat dicontoh dalam pilkada berikutnya. Di sinilah pentingnya menjadikan momentum pilkada sebagai pendidikan politik bagi rakyat.

Pilkada secara langsung memang memberi peluang besar bagi warga Tangerang untuk belajar demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Dengan pemilihan langsung, warga punya keleluasaan untuk memilih sendiri pemimpin mereka. Pilihan bebas ini secara tidak langsung merupakan pendidikan politik, bahwa mereka punya hak otonom untuk memilih kepala daerah yang sesuai dengan hati nuraninya.

Sebagai upaya partisipatif terhadap Pendidikan Politik, JANGKAR PILKADA akan melakukan Program Pendidikan dan Penyadaran Demokrasi kepada masyarakat. Program ini dilakukan dalam bentuk himbauan dan penyuluhan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman warga yang terindikasi masih minim akan pemahaman politik dan demokrasi.

Tujuan

  1. Masyarakat dapat menjatuhkan pilihannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional;
  2. Mendorong kandidat agar lebih mengedepankan jenis kampanye yang mencerdaskan, bukan kampanye yang meninabobokan;
  3. Mengembalikan Idealisasi kampanye sebagai ajang pendidikan politik, bukan menjadi pembodohan politik;
  4. Dalam menentukan pilihan, masyarakat tidak lagi terjebak pada janji-janji muluk dan politik uang belaka namun lebih mengedepankan akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas para kandidat.

III. SURVEI PERILAKU & KECENDERUNGAN PEMILIH

Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi psikologis masyarakat kita saat ini masih terpilah-pilah antara kepedulian untuk ikut pilkada, apatisme, dan ketiadaan harapan untuk masa depan pasca pilkada. Kendati lumrah, fenomena ini dikhawatirkan dapat melemahkan keberkuasaan rakyat atas elitenya, karena disamping menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada elite, melalui momen pilkada rakyat juga sekaligus bisa menuntut pertanggungjawaban atas kinerja sebuah pemerintahan yang berujung pada apakah ia masih layak dipilih lagi atau tidak.

Karena itu, jika masyarakat mengambil sikap abstain (golput) dalam sebuah proses pemilihan, meskipun ini juga bagian dari hak warga negara, berarti masyarakat telah mempersilahkan diri "disandera" selama lima tahun oleh pemimpin yang sebenarnya tidak dikehendaki. Namun demikian, kita juga bisa memahami jalan berpikir beberapa kalangan yang memilih untuk "tidak memilih". Untuk mengukur sejauhmana antusiasme masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, termasuk seberapa besar ekspektasi dan keyakinan publik atas hasil-hasil pilkada maka JANGKAR PILKADA akan menyelenggarakan Survei Perilaku dan Kecenderungan Pemilih.

Tujuan

  1. Memetakan perilaku pemilih (political behaviour);
  2. Mengukur seberapa kuat komitmen masyarakat terhadap pandangan tentang pengakuan atas hak-haknya dalam menentukan pemimpin dalam rangka memajukan kehidupan warga;
  3. Mengukur seberapa kuat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap wadah penyaluran aspirasi dan dukungan politik seperti Partai, Organisasi non-partai, maupun perorangan;
  4. Temuan dari survei ini diharapkan menjadi masukan bagi semua stake holder yang berkepentingan dengan semakin dekatnya keputusan-keputusan publik dengan aspirasi masyarakat, dan semakin membuat desain demokrasi kita berbasis masyarakat.

Metodologi Survei


  1. Populasi survei ini adalah seluruh warga Kabupaten Tangerang yang punya hak pilih dalam pilkada, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan;
  2. Jumlah sampel sebanyak 1.968 responden yang terdiri dari 6 responden setiap Desa/Kelurahan dari 328 Desa/Kelurahan yang ada diseluruh kabupaten Tangerang;
  3. Penarikan sample dilakukan dengan Metode Multistage Random Sampling dengan toleransi kesalahan (margin of error) sebesar ± 2,8% pada tingkat kepercayaan 95 persen;
  4. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu Kecamatan;
  5. Quality Control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check).

IV. DEBAT KANDIDAT

Latar Belakang

Menjadi orang nomor satu di Tangerang? Siapa orangnya yang tak tergiur dengan jabatan prestisius itu. Meski warga Tangerang kelihatan adem ayem merespon hajatan politik ini, para cabup/cawabup tetap antusias menjual personalitas, kapasitas, pengalaman, dan klaim dukungan. Masing-masing mengklaim punya kelebihan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Pilkada, apalagi untuk wilayah sekompleks Tangerang, suka atau tidak suka, adalah perebutan kekuasaan. Celakanya, kecenderungan kandidat memanfaatkan ormas sebagai mesin politik-di samping partai itu sendiri-semakin memperkuat kooptasi komunitas politik atas masyarakat sipil. Pada akhirnya, lagi-lagi rakyat harus menjadi korban. Sebab, kontrak sosial yang terjadi bukan antara rakyat dan kandidat kepala daerah, tetapi antara kandidat dan partai atau ormas.

Untuk mengukur sejauhmana akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas cabup/cawabup yang akan memimpin Tangerang kedepan, JANGKAR PILKADA akan mempertemukan dan menguji komitmen mereka dihadapan para konstituennya melalui forum Debat Kandidat.

Tujuan

  1. Mengukur apakah kandidat memiliki akseptabilitas dalam mengelola Tangerang ini. Biasanya tanpa akseptabilitas, pemerintahan akan mudah digoyang karena dianggap tidak memiliki legitimasi yang kuat. Jika akseptabilitas bisa dipenuhi, maka persoalan legitimasi dengan sendirinya bisa diatasi;
  2. Menguji kecakapan memimpin dan membangun sinergi kandidat dengan berbagai elemen masyarakat yang lain sehingga terbentuk sebuah kinerja pemerintahan yang efektif dan efisien. Untuk tujuan ini, kandidat dituntut menunjukkan program yang riil dan terukur, sehingga publik dengan sendirinya bisa menilai tingkat kapabilitas kandidat;
  3. Mengukur tingkat kelayakan kandidat berdasarkan program yang ditawarkan dan kecakapan yang dimiliki untuk mengelola dan menjalankan roda pemerintahan;
  4. Melihat apakah kandidat memiliki integritas untuk berpegang teguh dan mematuhi moralitas politik, sehingga terjawab pertanyaan untuk apa serta untuk kepentingan siapa kekuasaan itu dijalankan. Pemerintahan yang tanpa integritas biasanya akan terus melanggengkan dan bahkan menumbuhsuburkan penyelewengan kekuasaan secara membabi buta. Integritas kandidat pada akhirnya akan menunjukkan seberapa besar komitmen mereka pada kepentingan publik.

V. PEMANTAUAN PRA DAN MASA KAMPANYE

Latar Belakang

Tentu, janji politik selalu manis. Tetapi semanis apa pun janji para cabup/cawabup, harus dibaca paling tidak dengan tiga perspektif. Pertama, politik adalah seni mengelola kepentingan dan kekuasaan, persoalan janjinya tak terpenuhi di kemudian hari, nanti akan ada argumentasi kekuasaan yang dibuat seolah-olah masuk akal. Kedua, janji politik harus dibaca sebagai alat penarik massa sehingga masyarakat harus bersikap antisipatif dan preventif supaya tidak terlalu kecewa ketika janji-janji itu tak kunjung datang untuk dieksekusi.

Ketiga, janji politik harus dibaca sebagai sebatas kehendak normatif sang cabup/cawabup. Persoalannya adalah, jajaran birokrasi sebagai para eksekutor di lapangan masih mengidap penyakit sebagai "raja" yang maunya dilayani dan bukan melayani. Ini persoalan riil yang tak mungkin dibersihkan dalam sekejap. Kekhawatiran atas ketiga hal diatas mendorong JANGKAR PILKADA melakukan pemantauan tidak hanya saat kampanye, namun juga pra- kampanye.

Aspek Pemantauan

  1. Penggunaan fasilitas pemerintah untuk kepentingan kampanye;
  2. Pelibatan PNS dalam kegiatan-kegiatan yang berbau kampanye;
  3. Penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan kampanye;
  4. Penyebaran isu negatif yang menyudutkan pasangan tertentu;
  5. Pemasangan tanda gambar pada fasilitas umum yang merusak keindahan dan kebersihan;
  6. Pelibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye;
  7. Ketidakdisiplinan terhadap waktu kampanye;
  8. Penggunaan media ajaran agama dengan mencantumkan foto calon;
  9. Tidak dibersihkannya atribut-atribut kampanye setelah masa kampanye berakhir.

VI. PEMANTAUAN PEMUNGUTAN & PENGHITUNGAN SUARA

Latar Belakang

Pemungutan dan Penghitungan Suara adalah putaran final dari rangkaian proses penyelenggaraan pilkada. Sudah barang tentu, para kandidat akan all out pada momen-momen terakhir ini, karena biasanya, disanalah kunci kemenangan terletak. Oleh karena dianggap sebagai momen penentuan, biasanya banyak kandidat melakukan manuver-manuver untuk meraih kemenangan, atau dikenal dengan istilah “bermain diujung”.

Mengantisipasi terjadinya kecurangan di momen yang menentukan ini, JANGKAR PILKADA akan mengerahkan seluruh kekuatan relawannya, dari mulai tingkat Kabupaten, Kecamatan, sampai relawan tingkat Desa/Kelurahan. Dengan dukungan sekitar 1.800 orang relawan, JANGKAR PILKADA berupaya menutup celah-celah ‘permainan’ di titik-titik rawan kecurangan.

Aspek Pemantauan

  1. Apakah kotak suara disegel dengan baik dan benar;
  2. Kemungkinan kotak suara hanya disegel setelah pemungutan suara selesai dilakukan;
  3. Kemungkinan pelanggaran lain seperti pelanggaran terhadap peraturan yang mengharuskan pemilih menunjukkan kartu pemilih dan surat undangan serta nama pemilih harus tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT);
  4. Kemungkinan masih adanya pemilih yang hanya menunjukkan surat undangan karena tidak memiliki kartu pemilih;
  5. Pemilih yang memilih di TPS lain hanya dengan menunjukkan surat undangan (tanpa surat keterangan);
  6. Pemilih yang tidak mencelupkan jarinya dalam tinta setelah mencoblos;
  7. Kemungkinan pelanggaran saat proses penghitungan suara;
  8. Pemantauan terhadap kemungkinan adanya surat suara yang berlubang dua (coblos tembus).

VII. QUICK COUNT

Latar Belakang

Ada sejumlah alasan mengapa pemantauan lewat penghitungan cepat perlu dilakukan. Alasan pertama, memprediksi hasil pilkada. Penyampaian hasil pilkada secara cepat akan mengurangi potensi terjadinya iklim politik yang tidak menentu. Alasan kedua, mencegah terjadinya kecurangan. Jika dilakukan oleh lembaga yang kredibel dan hasilnya dipublikasikan secara luas, kecenderungan terjadi kecurangan dalam penghitungan suara oleh pihak berwenang dapat diketahui dengan segera.

Di beberapa negara, hasil penghitungan cepat telah membongkar terjadinya kecurangan dalam penghitungan suara. Alasan ketiga, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pilkada dan hasil akhir. Kesamaan hasil prediksi dan hasil faktual yang diperoleh dalam pilkada tidak saja akan meningkatkan kredibilitas lembaga survei, tetapi juga membuat hasil pilkada memiliki kualitas yang lebih baik dan keabsahan yang lebih tinggi.

Tujuan

  1. Melaksanakan proses pencatatan hasil perolehan suara di ribuan TPS yang dipilih secara acak;
  2. Memprediksi hasil pilkada berdasarkan fakta, bukan berdasarkan opini;
  3. Memprediksi perolehan suara pilkada secara cepat sehingga dapat memverifikasi hasil resmi KPUD;
  4. Mendeteksi dan melaporkan penyimpangan, atau mengungkapkan kecurangan;
  5. Membangun kepercayaan atas kinerja penyelenggara pemilu dan memberikan legitimasi terhadap proses pemilu;

VIII. EVALUASI, REKOMENDASI & PEMBUBARAN TIM

Penutup

Dibalik gegap gempita harapan dan optimisme terhadap pilkada langsung oleh rakyat, tersembunyi banyak persoalan yang secara umum belum menjanjikan demokrasi dan tata-pemerintahan lokal yang lebih baik. Jika kita menyepakati bahwa hakikat otonomi daerah pada dasarnya adalah otonomi masyarakat dalam tata pemerintahan lokal, maka pilkada langsung merupakan suatu keniscayaan politik bagi bangsa ini. Begitu pula, jika agenda desentralisasi dan otonomi daerah dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa kita, maka pilkada langsung semestinya memberikan kontribusi yang juga besar terhadap hal itu.

Hanya saja persoalannya kemudian adalah, apakah format pilkada langsung yang telah bergulir sejak Juni 2005 memenuhi tuntutan praktik demokrasi yang substansial disatu pihak, dan desentralisasi serta otonomi daerah yang lebih berkualitas dilain pihak, tetap masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Dari segi demokrasi prosedural, pilkada langsung jelas merupakan suatu tahap kemajuan baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Hanya saja format pilkada ini ternyata masih menyimpan berbagai persoalan krusial, baik dari aspek esensi pilkada langsung, distorsi kewenangan dan regulasi, tumpang-tindih kelembagaan, dan problem legitimasi.

Sebagai langkah penutup dari rangkaian kegiatan pemantauannya, JANGKAR PILKADA akan melakukan evaluasi secara menyeluruh, baik terhadap proses penyelenggaraan pilkada maupun terhadap kinerja JANGKAR PILKADA secara internal. Evaluasi ini kemudian akan menghasilkan rekomendasi yang diharapkan bermanfaat bagi pengembangan demokrasi kedepan. Disamping melakukan evaluasi dan membuat rekomendasi, seiring dengan berakhirnya tahapan-tahapan pilkada, JANGKAR PILKADA juga secara resmi akan membubarkan Tim Relawannya sebagai Jaringan Pemantau.